Kerangka Kerja Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan merupakan suatu tantangan dalam dunia pertanian, yang menuntut petani untuk memiliki perilaku usahatani yang berbeda dan lebih baik terutama untuk aspek lingkungan. Hal ini ternyata tidaklah mudah, sebab jika diamati saat ini yang ditemukan bahwa petani masih tinggi sekali faktor ketergantungannya terhadap unsur-unsur kimiawi dalam kegiatan usaha taninya. Penerapan pertanian organik secara utuh dirasakan tidak mudah bagi petani. Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Sistem pertanian organik telah mengalami perkembangan pesat di negara-negara Eropa dan Amerika. Laju penjualan pangan organik di negara-negara tersebut berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir (Zulvera, 2014).

Indonesia sebagai negara agraris memiliki peluang dan potensi besar untuk mengembangkan pertanian organik. Dengan memiliki 17 juta hektar lahan kosong dan masih luasnya pertanian tradisional yang dikelola tanpa menggunakan bahan sintetis, menjadi salah satu modal penting untuk mengembangkan pertanian organik. Berdasarkan data statistik total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2012 adalah 213.023,55 ha yang tersebar di 15 Provinsi di Indonesia.


Pertanian berkelanjutan
(Sumber: Pangannews.id)


A. PENDEKATAN DAN SISTEM

Berbagai praktek usaha pertanian konvensional yang selama ini dilaksanakan oleh para pelakunya masih dirasakan belum memperhatikan kelestarian lingkungan. Usaha pertanian selain menghasilkan berbagai produk yang ditawarkan kepada konsumen, juga dapat menimbulkan berbagai ekstenalitas negatif antara lain: polusi udara dari gas metan; polusi tanah, air dan udara dari pestisida dan herbisida; polusi perairan dan udara dari sisa pupuk yang tidak diserap oleh tanaman; dan erosi tanah oleh angin dan air. Tingkat eksternalitas negatif yang ditimbulkannya sangat tergantung dari pola usaha tani yang diterapkan oleh para pelaku usaha pertanian (Dimyati et. al., 1998).

Dampak pengembangan usaha pertanian yang sangat intensif telah menimbulkan dampak pada menurunnya kelestarian sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), degradasi tanah, eksternalitas negatif penggunaan input kimia pada kesehatan dan lingkungan, ketidakmerataan manfaat, menurunkan kualitas dan kemampuan swasembada pangan, dan keselamatan tenaga kerja sektor pertanian. Keadaan ini merupakan suatu akibat dari penerapan pendekatan konvensional dalam pembangunan pertanian yang dalam berbagai kasus tidak berkelanjutkan. Alternatifnya sering dikaitkan dengan upaya untuk menemukan pendekatan yang mampu merefleksikan sasaran untuk mempromosikan alternatif yang Iebih sesuai dari pada sistem pertanian konvensional (Dahlberg, 1991).

Pemikiran untuk menemukan alternatif dari sistem pertanian konvensional bermula dari munculnya kritikan-kritikan dari para pengamat pertanian terhadap sistem pertanian industrial yang dianggap tidak berkelanjutan dan upaya untuk menemukan arah dan bentuk pendekatan yang berkelanjutan (Dahlberg, 1991). Mencermati konsep pengembangan sistem pertanian konvensional menjadi sangat penting selama sistem pertanian berkelanjutan sering ditandingkan dengan pendekatan konvensional tersebut (MacRae et al., 1990).

Menurut Sudirja (2008), kegiatan-kegiatan yang menunjang pertanian berkelanjutan diantaranya:

  1. Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian hama terpadu merupakan pengendalian hama yang dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur alami yang mampu mengendalikan hama agar tetap berada pada jumlah di bawah ambang batas yang merugikan dengan cara-cara yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup.
  2. Konservasi Tanah Konservasi tanah dapat diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Kegiatan konservasi tanah diantaranya dengan membuat sengkedan atau terasering pada lahan miring untuk mencegah terjadinya erosi, melakukan reboisasi atau penanaman kembali lahan kritis, melakukan pergiliran tanaman atau crop rotation dan menanam tanaman penutup tanah (cover crop).
  3. Menjaga Kualitas Air Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, produktivitas dan daya tampung dari sumberdaya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumberdaya air. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas air antara lain: mengurangi penggunaan senyawa kimia sintetis ke dalam tanah yang dapat mencemari air tanah, menggunakan irigasi tetes yang menghemat penggunaan air dan pupuk, melakukan penanaman, pemeliharaan dan kegiatan konservasi tanah pada kawasan lahan kritis terutama di hulu daerah aliran sungai. 
  4. Tanaman Pelindung Penanaman tanaman pelindung seperti gandum dan semanggi di akhir musim panen tanaman sayuran atau sereal bermanfaat untuk menekan pertumbuhan gulma, mencegah erosi dan meningkatkan nutrisi dan kualitas tanah.
  5. Diversifikasi Tanaman Diversifikasi tanaman merupakan teknik menanam/memelihara lebih dari satu jenis tanaman dalam satu areal lahan pertanian. Cara ini adalah salah satu alternatif untuk mengurangi resiko kegagalan usaha pertanian akibat kondisi cuaca ekstrim, serangan hama pengganggu tanaman, dan fluktuasi harga pasar. Diversifikasi tanaman juga dapat berkontribusi bagi konservasi lahan, menjaga kelestarian habitat binatang dan meningkatkan populasi serangga yang bermanfaat. Dari segi ekonomi, diversifikasi tanaman dapat meningkatkan pendapatan petani sepanjang tahun dan meminimalkan kerugian akibat kemungkinan kegagalan dari menanam satu jenis tanaman saja.
  6. Pengelolaan Nutrisi Tanaman Pengelolaan nutrisi tanaman diperlukan untuk meningkatkan kondisi tanah serta melindungi lingkungan tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan pupuk kandang dan tanaman kacang-kacangan sebagai penutup tanah yang tidak hanya menyuburkan tanah tetapi juga dapat menekan biaya pembelian pupuk anorganik yang harus dikeluarkan. Beberapa jenis pupuk organik yang dapat dimanfaatkan antara lain pupuk kompos, kascing, dan pupuk hijau (dedaunan).
B. ASPEK SOSIAL BUDAYA

Aspek sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), reservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan (Rivai dan Anugrah, 2011).

Berdasarkan penelitian Zamroni (2010) mengenai perubahan sosial budaya petani organik di Yogyakarta diperoleh hasil berupa adanya perubahan sosial budaya yang terjadi di mana hal ini berlangsung secara perlahan-lahan. Perubahan dari model pertanian konvensional ke model pertanian organik di Dusun Serut tidak terjadi secara tiba-tiba, namun memerlukan kerja keras, komitmen yang tinggi dan kemauan yang kuat untuk mengembalikan kondisi tanah yang sudah ‘sakit’ menjadi lebih baik. Oleh karena itu, harus ada gerakan untuk memulai pertanian organik, tanpa menggunakan pupuk kimia.

Pada mulanya, petani harus lapang dada untuk menerima perubahan warna daun padi yang ditanam secara organik yang menguning dan terlihat kurus, padahal jika ditanam secara konvensional—dengan menggunakan pupuk pabrik dan pestisida—daun padi kelihatan hijau dan subur. Konstruksi pemahaman masyarakat bahwa tanaman yang subur adalah yang berdaun hijau sulit untuk dirubah. Kesuburan tanaman akan menentukan besaran hasil produksi dan besarnya hasil produksi akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.

Untuk mengawali bertani secara organik petani juga harus bersedia repot, membuat pupuk sendiri, membuat benih tanaman sendiri, dan menerapkan pertanian secara terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang mengiringi bertani secara organik di Dusun Serut adalah budaya memelihara binatang ternak terus berkembang, seperti: berternak kelinci, kambing, dan sapi. Dalam praktiknya kotoran ternak yang dikelola dengan baik dan sampah dimanfaatkan untuk menjadi pupuk organik bagi tanaman yang dikelola. Pada tahun 2007, terdapat 56 orang yang berternak kambing dan 31 orang berternak sapi untuk mendukung kebutuhan bahan pembuatan granole atau pupuk yang dibuat dari bahan dasar kotoran hewan ternak. Mereka memahami bahwa keberadaan binatang ternak menjadi sangat penting untuk mendukung pertanian organik sebagai suplai bahan pupuk organik dan penguatan kapasitas ekonomi.

Seluruh pupuk organik yang diproduksi sendiri hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan petani yang bersangkutan, dan tidak dijual, meskipun di Dusun Serut terdapat kelompok tani yang berprofesi sebagai penghasil pupuk organik dengan tujuan untuk dijual kepada petani secara umum. Uniknya, terdapat satu kelompok tani penghasil pupuk organik yang beranggotakan orang-orang difable akibat gempa bumi yang terjadi di DIY dan Jateng dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan baku yang ada di sekitar mereka. Hal ini tidak ditemukan ketika penduduk desa masih menganut sistem pertanian konvensional. Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia maupun pestisida yang sudah membudaya dan menjadikan posisi petani termarginalkan dapat direduksi dan sekaligus digantikan dengan terciptanya kemandirian sosial para petani dalam jangka panjang.

Selain itu, sejak para warga dusun menerapkan pertanian organik, beberapa rumah mulai memisah sampah rumah tangga dalam gentong yang diletakkan di sekeliling rumah. Sampah yang sudah dimasukkan ke dalam gentong tersebut kemudian diberikan cairan dekomposer agar nantinya sampah tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk mendukung aktivitas pertanian yang mereka lakukan, sekaligus memutus ketergantungan terhadap pupuk kimia. Budaya untuk menciptakan lingkungan yang bersih tertanam dalam masyarakat, karena mereka sudah terbiasa untuk mengumpulkan sampah sebagai bahan pembuatan pupuk organik. Inilah salah satu perubahan budaya dalam masyarakat di Dusun Serut sejak diterapkannya sistem pertanian organik oleh penduduk setempat.

C. ASPEK EKOLOGIS

Aspek ekologis menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya dukung biologis, sumber daya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan (Rivai dan Anugrah, 2011).

Menurut Risdianto (2015) dalam menghadapi kendala pertanian konvensional, konsep ke depan yang dapat diperkenalkan adalah pertanian berbasis organik. Pertanian ini mengandalkan bahan-bahan alami dan agen hayati berupa mikrobia, tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. Harapannya dengan metode tersebut akan tersedia produk-produk pertanian yang aman bagi kesehatan petani dan konsumen serta tidak merusak lingkungan. Canadian Standars Board National Standar for Organik Agriculture memberikan definisi, pertanian organik sebagai ”suatu sistem produksi holistik yang dirancang untuk mengoptimalisasikan produktivitas dan kemampuan dari bermacam-macam komunitas di dalam agroekosistem, termasuk organisme tanah, tanaman, ternak, dan manusia”. Tujuan utama pertanian organik adalah untuk mengembangkan usaha produktif yang sustainable (berkelanjutan) dan selaras dengan lingkungan.

Praktek pertanian organik yang intensif perlu dilaksanakan secara hati-hati dengan tujuan untuk memulihkan sekaligus mempertahankan stabilitas ekologi dengan memerhatikan kelestarian lingkungan. Kesuburan tanah dipertahankan dan ditingkatkan oleh suatu sistem alami yang mendukung aktivitas biologi di dalam tanah dan konservasi sumber daya tanah. Pengelolaan hama, gulma dan penyakit tanaman dicapai dengan suatu integrasi biologi, budidaya, dan metode pengendalian mekanis dengan sistem budidaya dan pengolahan tanah minimum, seleksi dan rotasi tanaman, daur ulang sisa tanaman dan hewan, pengelolaan air, dan pemanfaatan komponen hidup seperti serangga untuk mendorong hubungan mangsa dan predator yang seimbang.

D. ASPEK EKONOMI

Aspek ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama aspek ekonomi ini ialah tingkat efisiensi dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia baik untuk generasi sekarang ataupun mendatang (Rivai dan Anugrah, 2011). Berdasarkan penelitian Zamroni (2010) tawaran inovasi pertanian organik harus diketahui terlebih dahulu hasilnya oleh para petani, termasuk ada tidaknya peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi bagi para petani, dan kemudian setelah mereka mengetahuinya akan mengikuti untuk menerapkan inovasi itu.

Seorang tokoh di Dusun Serut, ketika mengenalkan pertanian organik, pada awalnya hanya ditertawakan oleh para petani karena terlihat tanaman padi yang ditanam daunnya menguning. Akan tetapi, lambat laun para petani dapat menerimanya karena sudah tahu manfaat dan keuntungan yang dirasakan dengan bertani secara organik. Salah satunya adalah adanya peningkatan penghasilan dari bertani secara organik, karena produk pertanian organik lebih mahal harganya di pasar dibandingkan produk anorganik. Beras hasil dari pertanian organik harganya antara Rp8.000,- hingga Rp11.000,- sedangkan beras hasil pertanian konvensional harganya antara Rp5.000,- hingga Rp7.500,-.

Hal ini berarti bahwa, terdapat peningkatan kesejahteraan ekonomi petani dengan beralih pada pertanian organik. Di samping itu hasil panen juga mengalami peningkatan, setiap 50 m² dapat menghasilkan 1 karung yang beratnya kira-kira 40-45 kg. Padahal, dengan luas yang sama, penggunaan metode pertanian konvensional hanya menghasilkan 35-38 kg. Pupuk dan bibit juga bisa dipenuhi secara mandiri, hampir tidak memerlukan biaya untuk pembelian pupuk, karena para petani biasanya mempunyai hewan ternak. Kotoran hewan ternak dan sampah rumah tangga menjadi bahan baku untuk pembuatan pupuk organik, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Kebutuhan hidup para petani dapat tercukupi dengan meminimalisasi ongkos produksi pertanian.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Setiawati et al. (2015) juga menunjukkan hasil bahwa pertanian padi organik menguntungkan. Rata-rata pendapatan atas biaya tunai yang diterima petani dalam berusahatani padi organik adalah Rp 19.293.373,52/ha/musim tanam dengan R/C ratio sebesar 3,38 dan pendapatan atas biaya total adalah Rp 16.023.633.71/ha/musim tanam dengan R/C ratio sebesar 2,41. Hal ini menunjukkan usahatani padi bersertifikat organik layak diusahakan.


DAFTAR PUSTAKA

Dahlberg, K.A. 1991. Sustainable Agriculture: Fad or Harbinger? BioScience. 41(5): 337-40.

Dimyati, A., S. Bahrein, E. Danakusumah, Muchari, dan B. Nurbaeti. 1998. Pembangunan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Analisis Ketersediaan Sumberdaya Pangan dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian 1997-1998.

MacRae, R.J., Hill, S.B., Mehuys, G.R., and J. Henning. 1990. Farm-scale Agronomic and Economic Conversion from Conventional to Sustainable Agriculture. Adv. Agron. 43: 155-98.

Risdianto, D. 2015. Tinjauan Pertanian Organik dan Pertanian Berkelanjutan dalam Upaya Mewujudkan Kembali Swasembada Pangan Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI. 21: 31-41.

Rivai, R.S. dan I.S. Anugrah. 2011. Konsep dan Implementasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi. 29(1): 13-25.

Setiawati, N.K.P., I.K. Suamba, dan A.A.A. Wulandira. 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Bersertifikat Organik (Kasus Kelompok Tani Gana Sari Kabupaten Badung). E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 4(5): 355-364.

Sudirja. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Universitas Padjajaran, Bandung.

Zamroni, M.I. 2010. Perubahan Sosial-Budaya Petani Organik di Yogyakarta. Jurnal Masyarakat & Budaya. 12(1): 71-92.

Zulvera. 2014. Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

2 komentar